Selasa, 25 November 2008

MAKNA JIHAD SESUNGGUHNYA

Oleh : Adnan, S. Ag.*

Tepat pada hari Minggu tanggal 9 November 2008, pukul 00.15 wiba, eksekusi mati terhadap aktor Bom Bali I telah dilaksanakan. Sebagian besar orang-orang yang tidak setuju atau terkena dampak dari aksi teroris tersebut merasa lega dan gembira, karena orang yang dianggap paling berbahaya di Indonesia dan di dunia tersebut telah diakhiri hidupnya di tangan para eksekutor. Namun di sisi lain, ada sebagian orang yang merasa tidak sependapat dengan kebijakan pemerintah tersebut, mereka merespon eksekusi yang telah dilaksanakan dengan semangat jihad “Allahu Akbar”, sehingga seakan-akan lahir kembali Amrozi, Mukhlas dan Imam Samudra yang baru, yang lebih meningkat dari segi kuantitas dan kualitasnya. Fenomena yang belum jelas kelihatannya ini, tentu mungkin saja terwujud, jika tidak diantisipasi atau benahi, akan muncul kembali para teroris baru yang siap mempertaruhkan nyawanya atas nama “Jihad”.
Terkait dengan kata “jihad” tersebut, akhir-akhir ini umat Islam sangat sering dirugikan. Kerugian ini bersumber dari pemahaman yang keliru terhadap konsep jihad, baik dari para pengamat Barat (orientalis) maupun dari kalangan umat Islam itu sendiri. Sebut saja seorang orientalis Belanda yang bernama H. TH. Obbrink, yang melakukan penelitian terhadap gerakan Cheragh ‘Ali di India. Dari hasil penelitiannya tersebut, ia membuat sebuah rumusan bahwa istilah jihad dalam Islam dapat dimaknai dengan “de heilige oorlog” atau “the holy war” yang sebelumnya tidak dikenal dalam ajaran Islam. Kekeliruan pemahaman ini tentunya sangat merugikan umat Islam, karena dari hasil rumusan keliru tersebut dapat melahirkan sebuah kesimpulan yang keliru juga, seperti Islam adalah agama kekerasan, Islam disebarkan dengan pedang, Islam agama teroris, dan sebagainya.
Sedangkan dari umat Islam sendiri, ada oknum umat yang keliru memahami konsep jihad, mereka memaknai jihad adalah qital (perang). Untuk skala umum, jihad dimaknai sebagai tindakan invasi atau sejenisnya ke negara lain yang dianggap para penghuninya adalah orang “kafir”. Sedangkan untuk skala yang lebih kecil dari itu, jihad dipahami sebagai aksi balas dendam terhadap kedzaliman suatu negara, caranya yang paling populer dilakukan adalah penyanderaan, penembakan atau pengeboman di tempat-tempat fital yang dianggap banyak orang “kafir”nya. Pemahaman seperti itu jelas sangat keliru dan tidak proporsional, karena tidak memahami istilah jihad sesuai dengan makna sesungguhnya.
Secara etimologis, jihad berarti mengerahkan segala kemampuan, sukar, sulit dan letih. Jihad adalah bentuk mashdar dari kata jihada yang sering disalahpahami sehingga kesannya lebih diarahkan kepada sesuatu yang berlawanan. Padahal kalau dilihat secara semantik, jihad memiliki makna yang luas, mencakup semua usaha yang dilakukan dengan kesungguh-sungguhan untuk mendapatkan sesuatu atau menghindarkan diri dari sesuatu yang tidak diinginkan. Dengan pengertian tersebut, jihad bisa dipahami dengan benar dan proporsional, tidak hanya dipahami dalam ruang lingkup yang sempit atau dalam arti perang semata.
Dalam al-Qur’an, kata jihad dengan 6 kata turunannya disebut sebanyak 41 kali, sedangkan kata jihad itu sendiri hanya disebut 4 kali. Sebagian besar kata jihad yang turun di Makkah tersebut berarti umum, yaitu “bersungguh-sungguh dalam melakukan sesuatu”. Sedangkan kata jihad yang berada dalam konteks perang, salah satunya adalah Qur’an surah Al-Anfal ayat 72, yaitu seruan untuk “berjihad dengan harta dan jiwanya pada jalan Allah”. Memang tidak bisa dinafikan bahwa kata jihad dalam makna perang juga dilegitimasi oleh al-Qur’an, namun situasi dan kondisinya harus terpenuhi, misalnya dalam kondisi teraniaya, didzalimi, atau diperangi. Lihat saja sejarah perang yang pernah terjadi pada zaman Nabi Muhammad, penyebabnya adalah kesewenang-wenangan dan penganiayaan, dan titik klimaksnya adalah serangan nyata dari orang kafir sehingga terjadilah perang Badar yang dimenangi umat Islam dengan semangat jihadnya.
Berdasarkan fakta sejarah dan makna dasar dari kata jihad di atas, belum tepat jika kata jihad hanya dimaknai secara sempit dan dijadikan alat untuk memprovokasi umat agar melakukan “perang” tanpa pandang bulu, karena dalam sekumpulan orang, mungkin saja ada “Kafir Harbiy” yang boleh di perangi, tetapi yang lebih banyak adalah “Kafir Dzimmiy” yang sangat dilindungi oleh Nabi Muhammad.
Untuk itu, tampaknya perlu diinterpretasi ulang makna jihad dalam konteks kekinian, agar kesan Islam sebagai agama teroris dapat terhindarkan. Dalam hal ini, organisasi ke-Islaman, sekolah atau madrasah, pondok pesantren yang dianggap basis teroris memiliki peran sentral untuk memberikan pencerahan kepada umat agar umat Islam tidak lagi dirugikan. Menurut hemat penulis, saatnya umat Islam di Indonesia untuk menyadari berbagai tantangan pada abad 21 ini, dengan mengobarkan semangat jihad untuk belajar, bekerja, menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi serta menciptakan peradaban yang lebih beradab. Dengan konsep jihad seperti itu, penulis yakin Bangsa Indonesia mampu mengatasi berbagai krisis yang sedang melanda, mulai dari krisis ekonomi, krisis kepercayaan sampai pada krisis akhlak saat ini, karena disitulah makna jihad yang sesungguhnya. Bukankah dalam pandangan Rasulullah bahwa jihad yang paling besar adalah jihad melawan hawa nafsu? Dengan terkendalinya hawa nafsu tersebut, seorang muslim tidak akan membuat kerusakan yang berdampak pada semua orang tanpa pandang bulu, tapi malahan dapat menciptakan sebuah peradaban yang lebih beradab.

*Penulis adalah Dosen STIT Sultan Muhammad Syafiuddin Sambas yang sedang studi di Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Tidak ada komentar: